Kutukan 'Mark Twain Effect' Mengintai IHSG, Sanggup Bertahan?

Susi Setiawati, Srealm Indonesia
01 October 2025 14:55
Layar menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Kantor Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin (1/9/2025). (Srealm Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Layar menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Kantor Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin (1/9/2025). (Srealm Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, Srealm Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil melewati  September dengan baik, dengan mencatatkan kenaikan hingga 2,94%. Kini pasar saham telah memasuki periode Oktober di mana dikenal dengan periode menakutkan karena diyakini pasar saham cenderung jatuh.

October Effect atau nama lainnya Mark Twain Effect, istilah yang merujuk pada fenomena musiman (seasonality), khususnya terkait dengan bulan Oktober. Sebutan ini mengacu pada pola pasar di mana  Oktober memiliki kinerja yang lebih rendah dibandingkan bulan-bulan lain, sering kali ditandai dengan penurunan harga saham yang signifikan.

Pasar keuangan tidak selalu mengulang pola yang sama persis, tetapi pola serupa atau tren yang berulang dapat terjadi seiring waktu, memberikan pola yang berima dalam pasar.

Istilah ini diambil dari sebuah kutipan terkenal Mark Twain dalam novel Pudd'nhead Wilson pada tahun 1894.

Dalam novel tersebut, terdapat kutipan berbunyi "Oktober, salah satu bulan yang berbahaya untuk berspekulasi di saham. Bulan lainnya adalah Juli, Januari, September, April, November, Mei, Maret, Juni, Desember, Agustus, dan Februari."

Beberapa ahli sejarah menyatakan bahwa October Effect terjadi karena sejarah mencatat bahwa terdapat beberapa krisis finansial yang terjadi pada bulan Oktober, seperti Krisis Pasar Saham 1929 dan Krisis Pasar Saham 1987. Karena itu, beberapa investor menjadi lebih waspada pada bulan Oktober karena takut terjadinya krisis finansial yang sama.

Dalam sejarah pasar saham AS, beberapa kejatuhan besar memang terjadi pada bulan Oktober, seperti Panic of 1907, Crash 1929 (Great Depression), Black Monday 1987. Maka dari itu, Oktober sering dipersepsikan sebagai bulan angker di bursa.

Ekonomi AS dan fenomena bear killerFoto: market watch
Ekonomi AS dan fenomena bear killer

Namun, penelitian akademis menunjukkan tidak ada bukti konsisten bahwa Oktober selalu lebih berbahaya daripada bulan lain. Efek ini lebih merupakan psikologi pasar dan anekdot ketimbang hukum statistik yang pasti.

Jika menilik pada pergerakan IHSG di setiap bulan Oktober dalam 10 tahun terakhir, IHSG cenderung ditutup di zona hijau pada bulan yang dikenal angker tersebut.

Diperkirakan Oktober ini akan ceria dikarenakan didorong oleh banyak sentimen positif yang akan mulai berjalan di periode ini.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa tembus level di atas 5,5% pada kuartal IV-2025.

Penyebabnya, pemerintah tengah fokus melakukan ekspansi fiskal dengan menggelontorkan dana menganggur pemerintah, memberikan stimulus ekonomi, hingga dukungan Bank Indonesia melalui kebijakan moneter longgar.

Purbaya bilang berbagai kebijakan itu baru akan mulai berefek pada akhir tahun karena pada kuartal III-2025 masih banyak permasalahan yang membuat tekanan ekonomi. Mulai dari demonstrasi hingga tekanan kurs.

Sebagaimana diketahui, sejak dilantik pada 8 September 2025 oleh Presiden Prabowo Subianto, Purbaya telah menyatakan komitmennya untuk terus menggelontorkan belanja negara demi mendorong ekonomi masyarakat.

Dia bahkan mengeluarkan dana menganggur pemerintah senilai Rp 200 triliun dari Bank Indonesia ke lima bank negara supaya peredaran uang primer atau M0 dapat tumbuh tinggi.

Lalu, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan stimulus ekonomi lanjutan yang disebut dengan kebijakan paket ekonomi 8+4+5 yang akan dikerahkan hingga 2026. Total anggaran paket stimulus itu mencapai Rp 16,23 triliun.

Pada 17 September 2025, Bank Indonesia juga menyatakan, ikut mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat dengan berbagai kebijakan. Seperti melalui kebijakan moneter longgar dengan memangkas suku bunga acuan BI Rate menjadi 4,75%.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo pun telah memastikan, Bank Indonesia terus memperkuat bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penurunan suku bunga, pelonggaran likuiditas, peningkatan insentif makroprudensial, serta percepatan digitalisasi ekonomi dan keuangan.


Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan Srealm Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

Srealm INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(saw/saw)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation