Konsolidasi LPG, Pupuk, dan Beras Butuh Satu Sistem Pengawasan

Subsidi energi, termasuk LPG 3 kg, selalu menjadi isu strategis dalam kebijakan fiskal kita. Besarnya alokasi anggaran untuk subsidi energi yang mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahun menuntut adanya mekanisme pengawasan yang ketat, agar benar-benar tepat sasaran dan tidak bocor di tengah jalan.
Belakangan, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mewacanakan pembentukan badan khusus yang mengawasi distribusi LPG 3 kg. Ide ini menuai perhatian karena dianggap sebagai langkah proaktif untuk memperbaiki tata kelola subsidi energi. Namun, perlu dicermati apakah pembentukan badan baru adalah pilihan yang paling tepat, atau justru ada cara yang lebih efisien.
Masalah Utama: Data Penerima Subsidi
Persoalan utama subsidi bukan hanya di distribusi, tetapi sejak hulu: data penerima subsidi. Pemerintah memang telah memiliki Data Terpadu Subsidi Energi Nasional (DTSEN), tetapi keakuratannya masih sering dipertanyakan. Tidak sedikit kasus di lapangan di mana subsidi justru dinikmati oleh mereka yang seharusnya tidak berhak, sementara masyarakat miskin yang benar-benar membutuhkan justru terlewat.
Karena itu, pengawasan distribusi harus dimulai dari validasi ulang basis data penerima. Jika data dasarnya tidak akurat, maka secanggih apapun mekanisme pengawasan di lapangan akan tetap menghasilkan kebocoran.
Lebih jauh lagi, validasi data yang baik tidak hanya akan memperbaiki penyaluran LPG 3 kg, tetapi juga bisa menjadi landasan bagi konsolidasi berbagai subsidi lain-seperti subsidi pupuk untuk petani, bantuan beras untuk masyarakat miskin, hingga berbagai program bantuan sosial. Jika seluruh subsidi dikelola dengan basis data tunggal yang akurat dan diawasi oleh ekosistem yang kredibel, kebocoran bisa ditekan, dan manfaat program lebih dirasakan langsung oleh masyarakat.
Belajar dari Masa Lalu: SGS dan Sucofindo
Sejarah reformasi pengawasan sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Pada era Orde Baru, fungsi verifikasi bea cukai dialihkan kepada lembaga independen seperti SGS (Société Générale de Surveillance) dan Sucofindo. Langkah ini terbukti efektif menekan potensi penyimpangan sekaligus meningkatkan transparansi.
Kini, di era reformasi, pendekatan serupa bisa kembali diterapkan untuk subsidi energi maupun subsidi lain. Tidak perlu membentuk badan baru yang justru menambah lapisan birokrasi. Pemerintah dapat mengoptimalkan lembaga yang sudah ada, seperti Sucofindo, yang punya kompetensi, ekosistem, dan pengalaman panjang dalam pengawasan, sertifikasi, dan verifikasi distribusi barang strategis.
Tiga Inovasi Penting dalam Pengawasan Subsidi
1. Pemanfaatan Sistem IT Pengawasan
Pemerintah perlu membangun sistem digital berbasis IT yang mampu menggambarkan alur distribusi subsidi secara real time. Sistem ini harus presisi, transparan, dan bisa diakses oleh lembaga pengawas maupun auditor publik. Dengan begitu, distribusi LPG, pupuk, atau beras bisa dilacak akurat dari hulu ke hilir, sehingga celah penyimpangan semakin kecil.
2. Menguji DTSEN dengan Real Demand Survey (RDS)
DTSEN perlu diuji ulang secara berkala melalui real demand survey dengan acuan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Kartu Keluarga (KK). Pendekatan ini akan memastikan hanya penerima sah yang masuk dalam daftar subsidi. Dengan RDS, pemerintah bisa mengukur kebutuhan nyata di lapangan, sekaligus memotong penerima "fiktif" yang selama ini menjadi sumber kebocoran.
3. Peran Koperasi Merah Putih sebagai Agregator
Di tingkat desa dan kelurahan, Koperasi Merah Putih dapat dijadikan hub distribusi subsidi. Koperasi ini bukan hanya menyalurkan LPG 3 kg, pupuk, atau beras subsidi, tetapi juga bisa menjadi agregator bisnis lokal.
Dengan ekosistem koperasi, distribusi menjadi lebih dekat dengan masyarakat, pengawasan lebih transparan karena berbasis komunitas, dan pada saat yang sama membuka peluang usaha baru bagi anggota koperasi. Dengan cara ini, subsidi tidak hanya hadir sebagai instrumen bantuan, tetapi juga sebagai pemicu tumbuhnya ekosistem bisnis desa.
Dampak Positif bagi Dunia Usaha dan Ekonomi Nasional
Distribusi subsidi energi dan non-energi yang tepat sasaran akan memberi dampak ganda bagi dunia usaha. Pertama, mengurangi beban fiskal negara karena subsidi tidak lagi dinikmati oleh pihak yang tidak berhak. Kedua, menjaga daya beli masyarakat miskin sehingga konsumsi tetap terjaga. Ketiga, memberi kepastian harga input bagi sektor produktif seperti pertanian (pupuk) dan UMKM (energi).
Pada akhirnya, pengawasan yang baik akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap kebijakan subsidi sekaligus memperkuat fondasi pertumbuhan ekonomi nasional.
Penutup
Gagasan Menteri ESDM untuk memperkuat pengawasan distribusi LPG 3 kg patut diapresiasi. Namun, agar efektif, langkah pertama yang harus dilakukan adalah memverifikasi ulang data penerima subsidi dan memperbaiki basis data DTSEN.
Daripada membentuk badan baru, pemerintah lebih bijak memanfaatkan lembaga yang sudah punya kompetensi dan ekosistem, seperti Sucofindo. Dengan tambahan inovasi berupa sistem IT pengawasan, RDS berbasis NIK/KK, serta peran Koperasi Merah Putih sebagai agregator di desa dan kelurahan, maka distribusi subsidi-baik LPG, pupuk, beras, maupun bantuan sosial-akan lebih tepat sasaran, efisien, dan adil.
Jika ini dijalankan konsisten, subsidi bukan hanya menjadi alat perlindungan sosial, tetapi juga motor penggerak ekonomi nasional dari desa.
(miq/miq)