
Ribut Soal Harga BBM, Bensin RI Ternyata Masih Murah di ASEAN

Kepada pers, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menyatakan bahwa wewenang penurunan harga BBM ada pada pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pihaknya siap menjalankan apapun keputusan pemerintah.
Jika mengacu pada ketentuan Kementerian ESDM, penetapan harga BBM memang harus mempertimbangkan beberapa faktor, mulai dari harga minyak dunia, inflasi, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar. Faktor kurs dihitung karena impor kita mencapai 40% dari konsumsi BBM, atau di kisaran 700.000 bph, alias 3 kali lebih besar dari impor minyak Malaysia.
Nah, rupiah sepanjang tahun berjalan telah melemah sebesar 1.520 perak atau 10% terhadap dolar AS, dari posisi awal tahun Rp 13.880 menjadi Rp 15.400 kemarin Jumat. Kondisi ini memaksa Pertamina mengumpulkan rupiah lebih banyak untuk mengimpor BBM (yang dibeli dalam dolar AS) dalam volume yang sama.
Menurut riset PT Bank Mandiri Tbk, setiap depresiasi rupiah sebesar Rp 100 terhadap dolar AS, kerugian operasional yang ditanggung Pertamina mencapai Rp 1,6 triliun. Mengacu pada hitungan tersebut, maka Pertamina menanggung kerugian hingga Rp 24,32 triliun. Jadi efek diskon harga minyak dunia pun berkurang karena selisih rugi kurs.
Di tengah kondisi tersebut, pukulan datang dari dalam negeri. Hingga Maret 2020, penjualan BBM amblas hingga 34,6% dari rerata penjualan normal akibat pembatasan sosial di berbagai daerah untuk menangani wabah COVID-19. Ini merupakan angka penjualan terendah sepanjang sejarah berdirinya perusahaan energi pelat merah ini.
Ketika permintaan lemah, sementara suplai berlimpah, maka Pertamina mau tidak mau harus memanfaatkan tangki-tangki penyimpanan dan bahkan menyewa fasilitas penampung dari swasta. Ini merupakan ongkos tambahan, di luar ongkos kilang yang terus berjalan untuk mengolah minyak mentah yang sudah dibeli baik dari kontraktor migas lokal maupun dari impor.
Seserius apa kondisi ini? Direktur Pelaksana Mizuho Securities Paul Sankey pada pertengahan Maret lalu menyebutkan ketika biaya penyimpanan minyak menjadi mahal, sementara permintaan sangat rendah, produsen minyak bakal merugi hingga ibaratnya bisa membayar orang untuk menyerap minyak mereka guna mengurangi biaya penyimpanan.
Berkaca pada AS, terlihat fakta bahwa penurunan harga BBM di tingkat konsumen tidak berjalan simetris secara penuh. Penurunan harga minyak WTI sebesar 70% tidak serta merta diikuti penurunan harga BBM dengan besaran sama, melainkan hanya 25%. Padahal, tidak ada risiko kurs di Negara Adidaya tersebut.
Jika AS saja yang merupakan negara net eksportir minyak—gelar yang baru diraih September tahun lalu, tidak bisa mentranslasikan penurunan harga minyak dunia secara simetris terhadap harga BBM di pasar domestik, lalu apa kabar Indonesia yang tertimpa depresiasi kurs?
TIM RISET Srealm INDONESIA (ags/ags)