Suntikan Segar Kredit Pemerintah: Pembiayaan Syariah Jangan Dilupakan

Muhammad Trianda Kusuma Srealm Indonesia
Jumat, 03/10/2025 16:02 WIB
Muhammad Trianda Kusuma
Muhammad Trianda Kusuma
Muhammad Trianda Kusuma merupakan Asisten Manajer Departemen Hukum Divisi Penasihat Hukum Makroprudensial dan Stabilitas Sistem Keuangan Ban... Selengkapnya
Foto: Ilustrasi aktivitas kegiatan di Bank Mega Syariah, beberapa waktu lalu. (Srealm Indonesia/Muhamad Sabki)

Bagaikan angin segar bagi pelaku usaha dan masyarakat yang membutuhkan dana, pemerintah melalui Kementerian Keuangan melalui siaran pers 12 September 2025 menyampaikan akan mengalokasikan dana sebesar Rp200 triliun yang sebelumnya tersimpan di Bank Indonesia dan akan dikirim masuk ke dalam sistem perbankan. Dalam siaran pers terkait, kucuran dana itu akan dialokasikan kepada Bank Mandiri, BRI, dan BNI sebesar Rp55 triliun, BTN Rp25 triliun, serta BSI Rp10 triliun.

Dana tersebut akan meningkatkan likuiditas perbankan dan memaksa pihak bank untuk mengucurkan kredit dengan outcome yang diharapkan, yaitu pertumbuhan ekonomi hingga penciptaan lapangan kerja.

Melalui alokasi penempatan dana, Suku Bunga Kredit (SBK) diharapkan menurun agar dapat mendorong permintaan kredit dari sektor riil. SBK sendiri sempat mengalami penurunan pada kelompok modal kerja atau investasi baik untuk bank persero, umum, atau pemerintah daerah berdasarkan data Bank Indonesia periode Mei-Juni 2025.


Meskipun terdapat alokasi pemindahan dana sebesar Rp200 triliun dari pemerintah ke sistem perbankan, nyatanya tren pertumbuhan kredit masih berada di bawah target kisaran 8% - 11% yang berdasarkan data hingga Agustus 2025, penyaluran kredit hanya meningkat sebesar 7,56% berdasarkan data dari Bank Indonesia dan OJK.

Data ini menunjukkan permintaan terhadap kredit sebenarnya masih belum optimal. Alasan lesunya permintaan kredit dapat saja terjadi akibat beberapa hal antara lain suku bunga kredit perbankan yang masih dianggap tinggi dan perilaku pelaku usaha yang masih menahan ekspansi akibat ketegangan geopolitik atau yang menjadi perbincangan akibat perbankan masih berlomba mencari dana murah dengan memberikan special rate kepada deposan.

Penambahan likuiditas ke dalam sistem perbankan juga menimbulkan kekhawatiran pihak perbankan akan membeli surat berharga negara (SBN) atau sekuritas rupiah bank Indonesia (SRBI) yang membuat tujuan perputaran perekonomian sektor rill tidak tercapai. Untuk mengatasi hal tersebut, tentunya pemerintah perlu menekan perbankan agar kucuran dana yang diberikan tidak dapat dipergunakan untuk membeli surat berharga.

Bagaimana dengan Pembiayaan Syariah?
Sama halnya dengan pertumbuhan kredit di perbankan konvensional seperti BRI yang tumbuh 5,97% yoy pada semester I-2025 dan Bank Mandiri sebesar 11% yoy, pertumbuhan pembiayaan syariah di BSI berada di tren positif dengan pertumbuhan mencapai 13,91%.

Lebih tinggi dari rata-rata industri perbankan syariah yang sebesar 8,37% dan industri perbankan nasional di angka 7,77% dalam periode kuartal II 2025. Pertumbuhan ekonomi syariah di Indonesia belakangan ini memang cukup menunjukkan tren positif.

Dari rencana alokasi dana Pemerintah ke sistem perbankan, kucuran dana alokasi Pemerintah ke BSI mencapai Rp10 triliun. Hal ini akan membuka ruang untuk melakukan pembiayaan lebih besar dari BSI kepada sektor riil meskipun secara jumlah alokasi kepada BSI merupakan terkecil di antara bank umum lainnya.

Ambisi Indonesia menjadikan dirinya sebagai pusat ekonomi syariah (eksyar) dunia pada 2029 perlu didukung dengan penguatan pertumbuhan ekonomi syariah, salah satunya adalah pembiayaan syariah bagi UMKM atau pelaku bisnis sekala besar.

Namun, ada hal yang perlu diperhatikan terkait UMKM syariah. Penelitian yang dilakukan oleh Sulasi menjelaskan sejak Oktober 2019 hingga Februari 2024 capaian sertifikasi halal bagi UMKM hanya mencapai 3,8 juta. Hanya sedikit dibandingkan dengan jumlah UMKM pada periode sama yang mencapai 64,4 juta.

Meskipun kucuran dana alokasi pemerintah untuk BSI memang tidak sebesar bank umum seperti Mandiri dan BRI, namun tren pertumbuhan pembiayaan syariah di Indonesia tetap positif, bahkan lebih tinggi dibandingkan bank umum.

Hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah jika ke depan terdapat kebijakan alokasi dana kembali untuk melirik pembiayaan syariah dan visi Indonesia untuk menjadi pusat eksyar dunia.


(miq/miq)