Menaikkan Energi per Kapita, Menaikkan Daya Saing Indonesia

Feiral Rizky Batubara, Srealm Indonesia
03 October 2025 16:15
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara
Feiral Rizky Batubara merupakan pemerhati kebijakan publik dan praktisi ketahanan energi. Feiral telah lama berkiprah dalam perumusan kebijakan energi nasional, mengawal transisi menuju ketahanan energi yang berkelanjutan. Ia juga merupakan Ketua Dewan P.. Selengkapnya
Infografis: RI Habiskan Ratusan Triliun Demi Subsidi Energi Setiap Tahun
Foto: Ilustrasi energi. (Arie Pratama/Srealm Indonesia)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Energi adalah pondasi setiap peradaban modern. Ke mana pun kita pergi, rumah, sekolah, rumah sakit, industri, semuanya bergantung pada pasokan energi yang andal dan terjangkau. Namun Indonesia, negara dengan lebih dari 280 juta penduduk, terjebak dalam paradoks: meski dianugerahi potensi energi yang melimpah, baik fosil maupun baru-terbarukan, konsumsi energi per kapita kita masih jauh tertinggal dibandingkan negara tetangga.

Menurut data International Energy Agency (IEA), konsumsi energi per kapita Indonesia berada di kisaran 1,2-1,4 toe per tahun. Di sisi lain, Malaysia telah mencapai sekitar 3,5-4 toe, Thailand menyentuh 2,5 toe, dan Vietnam meski ekonomi lebih muda telah mencapai 2 toe.

Negara-negara anggota OECD umumnya berada di kisaran 4-5 toe, sementara AS melampaui 6 toe. Perbedaan ini tidak hanya mencerminkan konsumsi, tapi juga produktivitas dan kapasitas industri. Malaysia kini memiliki PDB per kapita di atas USD 12.000, Thailand sekitar USD 7.800, sedangkan Indonesia masih di kisaran USD 5.500. Korelasi yang nyaris linier antara energi per kapita dan daya saing ekonomi tidak bisa diabaikan.

Kasus sehari-hari pun mudah dijumpai. Di pedesaan, listrik sering cukup hanya untuk lampu, televisi, dan pengisian ponsel. Namun begitu menyalakan mesin produksi kecil, kulkas ikan, atau pompa air tenaga listrik, daya tak mencukupi. Akibatnya, potensi ekonomi lokal tersekat.

Di sektor kesehatan, puskesmas harus bergantung genset atau menunda pemeliharaan alat medis karena listrik tidak stabil. Di dunia pendidikan, sekolah tanpa pasokan listrik andal tak mampu memanfaatkan teknologi pembelajaran digital secara maksimal. Inilah kenyataan bahwa rendahnya energi per kapita adalah hambatan kualitas hidup.

Di sektor industri, keterbatasan energi menahan pertumbuhan manufaktur padat energi seperti baja, petrokimia, dan industri bahan bangunan. Maka tidak mengherankan bila posisi Indonesia dalam rantai pasok global kerap tertinggal.

Apalagi ketimpangan antara kota dan desa makin melebar, sebab konsumsi energi di kota jauh lebih tinggi dibanding wilayah terisolasi. Jakarta sudah bicara kendaraan listrik, sedangkan desa di NTT atau Papua masih berjuang agar listrik tersedia selama 24 jam penuh.

Untuk mencapai status negara maju pada 2045, peningkatan energi per kapita menjadi syarat mutlak. Namun lonjakan ini tidak bisa hanya dicapai lewat pembangkit besar di Pulau Jawa. Yang lebih penting adalah penyebaran pasokan energi ke seluruh negeri.

Desa mandiri energi dengan kapasitas 1-1,5 MW dapat menjadi titik tumbuh strategis. Dengan memanfaatkan potensi lokal seperti surya, angin, hidro skala kecil, biomassa, desa dapat memiliki listrik yang cukup tidak hanya untuk penerangan, tapi juga untuk produksi lokal, irigasi, dan pengolahan hasil.

Indonesia memiliki potensi luar biasa: Kementerian ESDM memperkirakan potensi angin melebihi 150 GW, potensi surya lebih dari 200 GW, belum menghitung biomassa dan mini-hidro. Jika potensi ini dikelola dengan sistematis, peningkatan energi per kapita bukan mimpi, melainkan realitas.

Tapi kunci untuk memanfaatkannya adalah keandalan sistem. Mengingat sifat variabilitas angin atau surya, diperlukan dukungan penyimpanan energi (battery storage) dan jaringan listrik pintar. Tanpa itu, kapasitas tambahan hanya menjadi angka kosong di atas kertas.

Investasi besar menjadi tulang punggung transformasi ini. Untuk melipatgandakan energi per kapita dalam 15 tahun ke depan, Indonesia harus membangun pembangkit baru, jaringan transmisi, dan sistem penyimpanan yang membutuhkan miliaran dolar. Regulasi yang memberikan kepastian, insentif fiskal yang terarah, dan penyederhanaan perizinan menjadi tugas utama pemerintah. Inilah saatnya menciptakan iklim investasi EBT yang kompetitif dan aman.

Selain model top-down, pemberdayaan masyarakat desa juga vital. Koperasi energi bisa menjadi instrumen agar desa tak hanya menjadi pengguna, tetapi pemilik dan pengelola listrik. Keuntungan ekonomi dari listrik lokal akan tetap berputar di desa, bukan bocor ke kota. Konsep gotong royong dapat diadaptasi menjadi manajemen energi modern, dimana komunitas dapat saling mengawasi kebocoran, melakukan pemeliharaan, dan pengembangan sistem.

Target realistis yang bisa diupayakan: naik dari 1,3 toe sekarang ke 2,5-3 toe dalam 15 tahun ke depan. Dengan langkah ini, Indonesia bisa menyamai Thailand dan Vietnam, serta mendekati level Malaysia. Dampaknya akan terasa: UMKM desa tumbuh, industri nasional menguat, layanan sosial meningkat, dan pemerataan ekonomi semakin nyata. Jika energi per kapita naik, daya saing bangsa pun akan terangkat secara struktural.

Peningkatan energi per kapita bukan sekadar agenda teknis, tetapi proyek kebangsaan. Energi yang cukup dan merata akan menjadikan desa pusat pertumbuhan baru, menahan urbanisasi tak terkendali, dan memperkokoh kedaulatan bangsa. Dengan energi terbarukan berbasis lokal, Indonesia juga menurunkan ketergantungan impor fosil sembari mengurangi tekanan neraca perdagangan, dan menjaga stabilitas makroekonomi.

Akhirnya, menaikkan energi per kapita adalah memberi rakyat ruang untuk hidup lebih produktif, kreatif, dan bermartabat. Negara besar tidak dibangun jika enerĀ­gi warganya terbatas. Sebaliknya, kekuatan bangsa lahir dari rakyat dengan akses energi cukup untuk berkarya.

Indonesia terang bukan sekadar slogan, ini adalah jalan nyata untuk menaikkan energi per kapita dan daya saing nasional. Jika kita menapaki jalan ini dengan keberanian dan konsistensi, maka Indonesia akan berdiri sebagai negara berdaulat, mandiri, dan berkelanjutan.


(miq/miq)