Menanti Aturan Main MBG: Bukan Hanya Soal Tata Kelola

Nur Fauzi Ramadhan Srealm Indonesia
Jumat, 03/10/2025 05:42 WIB
Nur Fauzi Ramadhan
Nur Fauzi Ramadhan
Nur Fauzi Ramadhan merupakan peneliti yang meminati isu hukum dan kebijakan publik. Fokus kajian dari Fauzi adalah hukum pidana, hukum tata ... Selengkapnya
Foto: Sejumlah siswa saat mengikuti pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di SDN Jati 03 Pagi, Pulo Gadung, Jakarta Timur, Rabu, (7/5/2025). (Srealm Indonesia/Muhammad Sabki)

"Sekarang ini sedang diselesaikan terkait Perpres Tata Kelola Makan Bergizi, yang mudah-mudahan minggu ini sudah ditandatangani oleh bapak presiden,"

Kutipan tersebut merupakan pernyataan yang dilontarkan oleh Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (1/10/2025).

Memang, hampir sepuluh bulan diselenggarakan bertahap secara nasional (mulai Januari 2025), program Makan Bergizi Gratis (MBG) belum memiliki aturan pelaksana yang menjadi dasar hukum penerapan aturan teknis kembali di bawahnya secara nasional. Oleh karenanya, adanya sebuah perpres yang mengatur soal tata kelola proyek MBG menjadi urgensi bagi pemerintah.


MBG merupakan janji unggulan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran tatkala berkampanye dalam kontestasi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024. Tujuannya mulia, mencegah anak-anak Indonesia tidak kelaparan, sehingga mereka mendapatkan gizi yang bagus tatkala mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah.

Kendati begitu, tujuan mulia saja tidak cukup. Tujuan mulia tanpa perencanaan, tata kelola, pertanggungjawaban hukum, serta upaya teknokratik yang menyertainya justru akan menjadi hal yang dapat menimbulkan kerugian baik berupa menimbulkan korban jiwa, kegagalan fiskal, bahkan lebih jauh menyebabkan erosi bagi kepercayaan terhadap pemerintahan.

Sejauh ini, tercatat sekitar 7.000 kasus terjadinya keracunan akibat MBG. Hal ini diikuti dengan dikeluarkannya status Kejadian Luar Biasa (KLB) di berbagai daerah. Terbaru, Pemerintah Kabupaten Garut menetapkan status KLB oleh sebab terjadinya keracunan terhadap 148 siswa akibat mengonsumsi MBG. Oleh karenanya, aturan main mengenai MBG perlu dibuat dan tidak hanya mengatur soal tata kelola, akan tetapi lebih jauh dari itu seperti pertanggungjawaban hukum yang menyertainya.

Tidak Hanya Mengatur Tata Kelola
Sejak diselenggarakan awal Januari, dapat dikatakan MBG tidak memiliki aturan main yang mengatur mengenai tata kelola. Praktis dasar dari diselenggarakannya MBG hanya berupa rancangan anggaran 2025 serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2025/2029. Sementara mengenai kewenangan kelembagaan, tugas, alur pemerintahan, serta pertanggungjawaban tidak pernah diatur secara tegas dalam aturan seperti undang-undang dan peraturan Presiden.

Memang, sejak Agustus 2025 sudah ada Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024 tentang Badan Gizi Nasional. Perpres ini menjadi dasar kewenangan dari Badan Gizi Nasional (BGN) yang salah satunya sebagai lembaga penyelenggara proyek MBG. Sejauh inipun BGN telah bekerja sama dengan sejumlah pihak terkait seperti Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, TNI/Polri, dan pemerintah daerah.

Salah satu bentuk konkret kerja sama tersebut ialah pendirian Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG). Kendati begitu, proses pemilihan dan penunjukan SPPG justru menjadi sorotan tajam. Mengutip kajian dari Transparancy International Indonesia (TII), sejumlah permasalahan yang terjadi di lapangan soal SPPG seperti: konflik kepentingan kronis mitra pelaksana, pengadaan barang dan jasa yang rawan manipulasi, lemahnya pengawasan, dan meningkatkan risiko kerugian negara.

Sejumlah permasalahan tersebut seyogianya dapat menjadi daftar inventarisasi masalah dalam perancangan aturan main MBG. Oleh karenanya menurut hemat saya, perlu adanya dasar bagi aturan main yang lebih kuat seperti dalam bentuk undang-undang tersendiri yang khusus berbicara soal MBG.

Mengapa Harus Dalam Bentuk Undang-Undang?
Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2011 yang terakhir kali diubah melalui UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan merupakan dasar konstitusional dalam prosedur dan substansi dari peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Dalam bagian ketentuan umum dari UU ini dijelaskan bahwa Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.

Sementara itu, materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.

Di lain sisi, UU merupakan produk hukum yang disusun oleh pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam Pasal 10 UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan diatur bahwa hal-hal yang dapat menjadi muatan undang-undang meliputi: pengaturan lebih lanjut dari ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, perintah undang-undang untuk diatur dengan undang-undang, pengesahan perjanjian internasional tertentu, tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi, dan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang perlu diatur dalam undang-undang.

Teori jenjang hukum (Stufentheorie) yang dikemukakan oleh Hans Nawiasky dapat menjadi dasar dalam menjelaskan argumentasi ini. Dirinya membagi norma hukum atas jenjang-jenjang yakni: Staatsfundamentalnorm yang berisikan nomra fundamental negara, Staatsgrundgesetz yang berisikan dasar negara yang di Indonesia adalah Undang-Undang Dasar, Formelles Gesetz yang di Indonesia terejawantahkan dalam bentuk undang-undang dan perppu, Verordnung dan Autonome Satzung yang di Indonesia diejawantahkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, serta peraturan teknis dalam kementerian ataupun lembaga tertentu. Masing-masing jenis teori tersebut memiliki ciri khas muatan dan sifatnya yang berbeda satu dengan lainnya.

Dalam konteks ini, penting kita melihat dari pengaturan MBG. Sebagai sebuah proyek yang memiliki rantai produksi yang panjang dan melibatkan pelbagai macam pihak mulai dari organ pemerintahan pusat dan daerah, melibatkan anggaran yang sangat besar, serta adanya penambahan tugas dan lembaga pemerintahan lainnya, maka sudah menjadi alasan kuat mengapa penting MBG diatur menggunakan undang-undang.

Pertama, MBG melibatkan fungsi BGN sebagai lembaga yang menjalankan tugas koordinasi. Dalam konteks ini, kerja sama yang dilakukan oleh MBG khususnya dalam hal kerjasama dengan pemerintah daerah, apakah sesuai dengan prinsip otonomi daerah?

Dengan adanya BGN justru menunjukkan terjadinya sentralisasi pemerintahan yang seolah-olah diatur oleh pemerintahan pusat. Jikapun pemerintah daerah memiliki kewenangan, maka harus diatur dengan tegas sejauh mana peranan serta apa saja yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah sesuai dengan asas-asas otonomi daerah di Indonesia.

Kedua, melibatkan anggaran yang sangat besar. Dengan pagu anggaran dalam RAPBN 2026 sejumlah Rp 335 triliun, maka sudah waktunya perlu adanya aturan selevel UU untuk mengatur mengenai tata kelola, tugas dan fungsi lembaga, kerja sama, serta bentuk pertanggungjawaban dengan adanya program MBG. Hal ini juga tidak terlepas dari adanya pengenaan sanksi pidana yang tidak dapat diatur menggunakan aturan turunan.

Ketiga, menciptakan keberlanjutan pembangunan. Perlu menjadi sorotan lainnya ialah dengan adanya aturan selevel uu maka menunjukkan keberlanjutan kebijakan.

Jangan sampai, kebijakan ini yang sudah terjadi proses pengadaan barang dan jasa dan melibatkan anggaran yang besar justru dengan mudah dapat diganti sesuai dengan pergantian pemerintahan. Oleh karenanya, keberadaan UU justru selain mengatur tata kelola juga penting menyiapkan blue print dari proses penyelenggaraan MBG itu sendiri.

Di akhir, tindakan Presiden Prabowo untuk membentuk Peraturan Presiden yang mengatur soal MBG merupakan langkah maju meskipun terlambat dalam menyediakan aturan main dalam proyek besar ini. Kendati begitu, hal demikian bukan berarti cukup, justru dengan diperkuat dengan aturan selevel UU akan menjamin aturan main yang solid dalam hal koordinasi, pengawasan dan pertanggungjawaban, serta keberlanjutan dari proyek MBG itu sendiri.


(miq/miq)