Dari Dapur ke Masa Depan Ekonomi Keluarga

Anton Hendranata, Srealm Indonesia
02 October 2025 17:52
Anton Hendranata
Anton Hendranata
Anton Hendranata merupakan Chief Economist Bank Rakyat Indonesia dan Direktur Utama BRI Research Institute. Titel Doktor ilmu Ekonomi diperolehnya dari Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas tahun 2007. Amanah lain yang diemban eks Chief Econo.. Selengkapnya
Presiden Prabowo Subianto meninjau langsung pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di SDN Jati 05 Pagi, Pulogadung, Jakarta Timur, Senin (3/1/2025). (Dok. BPMI Setpres)
Foto: Presiden Prabowo Subianto meninjau langsung pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di SDN Jati 05 Pagi, Pulogadung, Jakarta Timur, Senin (3/1/2025). (Dokumentasi BPMI Setpres)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) bukan semata upaya agar anak tidak belajar dalam keadaan lapar. Ia adalah kebijakan ekonomi yang, bila dijalankan dengan tata kelola yang tertib, berpotensi mengungkit permintaan lokal, menata ekosistem pangan-gizi, dan menjadi investasi modal manusia yang menaikkan produktivitas jangka panjang.

Di negara sebesar dan tersebar seperti Indonesia, keberhasilan sangat ditentukan oleh desain yang mendekatkan sumber pangan ke konsumen, memberi kepastian pasar bagi UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) serta petani, dan menegakkan sistem pembayaran-logistik yang tertata dan transparan.



Dampaknya bekerja pada tiga horizon. Dalam jangka pendek, belanja bahan segar, jasa olah-masak, distribusi, dan tenaga kerja di sekitar sekolah langsung menambah omzet warung, katering, pedagang pasar, dan petani. Karena kandungan impor pada pangan segar rendah, efek penggandanya banyak tinggal di ekonomi lokal.

Memasuki jangka menengah, kepastian serapan harian mendorong pembiayaan modal kerja dan investasi peralatan-mulai dari blast chiller (alat pendingin cepat pasca-masak untuk membawa makanan ke suhu aman) hingga cold box (kotak berinsulasi untuk penyimpanan dan pengantaran dingin)-seraya memperkuat standardisasi mutu dan SOP/Standard Operating Procedure (prosedur operasi standar) keamanan pangan.

Pada jangka panjang, asupan gizi yang lebih baik menunjang konsentrasi dan kemampuan kognitif; dividen produktivitas itu akan tampak saat angkatan kerja yang lebih sehat dan terampil memasuki pasar kerja.

Arsitektur pasok yang mengutamakan radius dekat sekolah menciptakan kandungan lokal yang tinggi. Petani sayur, telur, ayam, ikan, dan produsen tempe-tahu memperoleh kepastian serapan dengan standar kualitas yang jelas.

UMKM kuliner, katering rumahan, kantin sekolah, hingga cloud kitchen (dapur produksi tanpa ruang makan)-terdorong menata peralatan higienis, mengikuti pelatihan HACCP/Hazard Analysis and Critical Control Points (Analisis Bahaya dan Titik Kendali Kritis), serta beralih ke pembukuan digital.

Dengan kontrak bergulir yang transparan, arus kas menjadi lebih terprediksi. Perbankan pun lebih yakin menyalurkan KUR (Kredit Usaha Rakyat) untuk peralatan, pembiayaan tagihan/pesanan, dan supplier financing (pembiayaan pemasok) bagi kelompok tani. Rantai logikanya sederhana: pasar yang pasti, akses modal naik, kapasitas naik, sehingga harga lebih stabil.

Sekolah berperan sebagai jangkar permintaan, sekaligus penyangga inflasi pangan. Dengan menu yang terencana, pemerintah daerah dapat mengatur panen bergilir, mendorong forward contract (kontrak beli di muka dengan volume/harga disepakati) antara sekolah dan kelompok tani, serta mengoptimalkan penyimpanan berpendingin untuk komoditas yang mudah rusak-bagian dari cold chain (rantai kendali suhu dari hulu ke hilir).

Bila harga satu komoditas meningkat, substitusi menu setara gizi, seperti ikan, telur, tempe-dapat diberlakukan tanpa menurunkan kualitas asupan. Kuncinya disiplin perencanaan, agar komposisi permintaan tetap seimbang dan potensi gejolak harga bisa ditekan.

Di balik dapur, MBG menjadi peluang memperluas digitalisasi ekonomi daerah. Idealnya, seluruh transaksi tercatat digital: pembelian bahan, pembayaran jasa, hingga penukaran kupon/voucher. Rekening pelajar atau kartu prabayar dengan whitelist (daftar menu bergizi yang diizinkan), QRIS/Quick Response Code Indonesian Standard di warung gizi mitra, rekonsiliasi otomatis harian, dan pembayaran berbasis kinerja memudahkan audit, serta memastikan kepatuhan.

Data granular mempercepat akuntansi, menutup celah kebocoran, dan menjadi dasar menetapkan price band (rentang harga acuan) di e-catalog (katalog elektronik pengadaan), menyusun menu, serta mengatur limit pembiayaan UMKM yang dinamis.

Dalam implementasi program pangan di negara tropis, ada dua tantangan yang kerap muncul. Pertama, cold chain yang di sebagian wilayah belum merata, padahal kendali suhu dari hulu ke hilir krusial untuk menjaga mutu dan keamanan.

Kedua, standardisasi yang masih beragam. Penguatan dapat diarahkan pada pengendalian suhu, higienitas, penanganan aman, komposisi gizi per porsi sesuai usia, dan rotasi menu mingguan agar anak tidak jenuh. Peningkatan kapasitas SDM: juru masak bersertifikat dan petugas gizi sekolah akan membantu membangun budaya higienitas yang melekat, bukan sekadar kepatuhan administratif.

Dari sisi fiskal, belanja MBG patut diposisikan sebagai investasi. Aturan praktisnya: porsi terbesar diarahkan ke bahan bergizi dari produsen lokal; porsi memadai ke layanan dan logistik agar mutu terjaga; dan biaya administrasi ditekan melalui digitalisasi.

Sumber pendanaan dapat dipadukan APBN/APBD, DAK (Dana Alokasi Khusus) bertema gizi, CSR/Corporate Social Responsibility (tanggung jawab sosial perusahaan) yang terarah, hingga skema berbasis hasil di daerah. Kontrak multi-tahun menurunkan biaya satuan, memberi kepastian investasi pada rantai pasok, dan memudahkan lembaga keuangan merancang pembiayaan berbasis kontrak.

Manajemen risiko berjalan berdampingan dengan perluasan program. Potensi mark-up dan kebocoran ditekan melalui e-catalog komoditas lokal dengan price band yang transparan, audit stok, dan verifikasi digital. Keamanan pangan diperkuat lewat inspeksi acak ber-geo-tag (tanda lokasi GPS), retained sample (contoh makanan yang disimpan untuk uji jika terjadi kasus), uji laboratorium berkala, serta penegakan kepatuhan bertahap hingga pembekuan kemitraan bagi pelanggaran berat.

Lonjakan harga komoditas diredam dengan panduan substitusi menu dan koordinasi stok daerah. Ketepatan waktu pembayaran dijaga melalui escrow digital (rekening penampung netral) dan pembayaran otomatis bagi pemasok yang lulus checklist harian. Seluruhnya memerlukan kepemimpinan operasional daerah yang konsisten mengukur, belajar, dan menyempurnakan.

Perbankan berada di tengah ekosistem ini. MBG menciptakan arus kas terkontrak-layak dibiayai-yang dapat dikonversi menjadi modal kerja bagi UMKM dan kelompok tani. Dokumen kontrak, bukti serah, dan histori transaksi digital membentuk jejak data kredit yang memperbaiki penilaian risiko. Produk seperti pembiayaan faktur MBG, KUR untuk peralatan dapur dan cold chain, serta supplier financing memperkuat sisi pasok tanpa membebani kas pemerintah.

Sejak awal 2025, cakupan penerima tumbuh cepat dan jaringan SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) melebar ke hampir semua provinsi-perkembangan yang patut diapresiasi. Dampak ekonomi lokal mulai terasa: serapan bahan meningkat, usaha mikro hidup, dan investasi peralatan bertambah.

Seiring perluasan, jaminan mutu terus diperkuat. Beberapa insiden keamanan pangan menjadi pengingat penting untuk menata SOP: sertifikasi juru masak, uji cepat bahan, perbaikan sanitasi, pemasangan CCTV di dapur, serta penataan sementara bagi dapur yang masih memerlukan penyesuaian.

Di sisi anggaran, realisasi belanja yang sempat belum optimal lebih mencerminkan pekerjaan penyiapan, kesiapan dapur, konsolidasi data, dan verifikasi layanan, ketimbang ketersediaan dana. Integrasi MBG dengan Sekolah Rakyat memperluas jangkauan ke keluarga miskin dan miskin ekstrem-dampak sosialnya signifikan-seraya menambah tugas logistik dan pengawasan di wilayah kepulauan dan perdesaan yang menantang secara geografis.

Pengalaman internasional memberi pembelajaran konstruktif. Brasil (Programa Nacional de Alimentação Escolar) mewajibkan minimal 30% bahan dari petani keluarga. Kebijakan yang mengaitkan gizi sekolah dengan ekonomi lokal dan meningkatkan pendapatan pemasok kecil, meski tingkat kepatuhan antardaerah bervariasi.

India (Program Mid-Day Meal) menunjukkan skala besar mampu menurunkan kelaparan dan meningkatkan capaian belajar bila standar nutrisi kuat; insiden yang pernah terjadi mengingatkan bahwa keamanan pangan adalah prioritas yang tidak dapat ditawar. Jepang (shokuiku/pendidikan gizi) menempatkan makan siang sebagai sarana edukasi: ada guru gizi, budaya kebersihan, dan banyak dapur memasak di lokasi; hasilnya indikator gizi membaik dan makanan terbuang rendah.

Di sisi lain, sejumlah negara Afrika menunjukkan bahwa pendanaan yang belum stabil, higiene dapur yang perlu penguatan, dan koordinasi lintas lembaga yang kompleks dapat menekan mutu layanan-catatan bagi kita agar tetap di jalur perbaikan berkelanjutan.

Dari cermin tersebut, prioritas praktis dapat dijalankan bertahap dan terukur:

(1) Safety first, then scale: hentikan sementara dapur yang belum memenuhi standar, lalu aktifkan kembali sebagai mitra program (re-onboard) setelah seluruh perbaikan tuntas dan lulus audit kualitas air serta uji mikrobiologi oleh laboratorium terakreditasi; serta inspeksi acak ber-geo-tag dan retained sample

(2) Kunci belanja lokal dengan kuota minimal berbasis radius, didukung e-catalog harga acuan dan kontrak beli sederhana sekolah-petani

(3) Satu sumber data resmi dengan cut-off (tanggal patokan konsolidasi) mingguan agar cakupan, SPPG aktif, insiden, dan realisasi belanja konsisten tersaji di dashboard publik (papan kendali data yang dapat dipantau publik)

(4) Profesionalisasi dapur melalui sertifikasi juru masak, SOP cold chain, rotasi menu, dan pembiayaan peralatan (KUR cold chain, pembiayaan faktur berbasis kinerja)

(5) Solusi transisional berupa kupon digital tervalidasi di daerah yang dapurnya sedang ditingkatkan.

Sebagai penutup. MBG adalah katalis yang menyatukan dapur, pasar, dan kelas dalam satu ekosistem kebijakan. Hari ini, program ini menggerakkan omzet UMKM dan serapan hasil tani. Esok hari, ia memperkuat kualitas SDM dan produktivitas nasional. Tugas kita sederhana namun penting: menjaga setiap rupiah agar benar-benar menjadi porsi bergizi yang aman, tepat waktu, dan tercatat-bukan sekadar angka di dokumen.

Dengan desain adaptif yang menghormati keragaman daerah, digitalisasi ujung ke ujung yang menutup celah kebocoran, kontrak multi-tahun yang memberi kepastian investasi, serta pembiayaan produktif bagi pelaku lokal, MBG menghadirkan tiga nilai sekaligus: menyehatkan anak hari ini, menguatkan ekonomi lokal hari ini, dan menaikkan produktivitas nasional esok hari.


(miq/miq)