
Bos KS Wanti-Wanti Banjir Baja China Bakal Makin Parah, BMAD Tak Cukup

Jakarta, Srealm Indonesia - Industri baja nasional menghadapi ancaman serius dari lonjakan impor, khususnya dari China. Skala produksi yang sangat besar, ditambah tekanan ekonomi dan kebijakan dagang dari negara maju, membuat produsen baja China agresif mencari pasar baru.
Akibatnya, menurut Direktur Utama PT Krakatau Steel Tbk Akbar Djohan, Indonesia menjadi salah satu negara yang paling rentan akibat lemahnya perlindungan industri dalam negeri. Mekanisme bea masuk antidumping (BMAD) disebutnya tak cukup melindungi industri nasional.
"Kita harus lihat dulu situasi industri di China. China ini, industrinya, bahkan ekonominya unstoppable. Artinya, dengan kapasitas skala ekonominya yang luar biasa, sampai 1,3 miliar ton per tahun, sedangkan kita nasional kurang daripada 18 juta ton per tahun, tentu tidak apple to apple," ujar Akbar dalam keterangannya.
Ia menjelaskan, kondisi ekonomi China yang sedang mengalami perlambatan, ditambah tekanan dari kebijakan tarif Amerika Serikat di era Trump, mendorong eksportir baja Negeri Tirai Bambu untuk mencari pasar alternatif di kawasan Asia Tenggara.
"Lalu bagaimana situasi penurunan ekonomi di China, lalu ditambah tarif Trump, 19 persen resiprokal plus 50 persen additional tax, tentu memberikan peluang bagi pasar budget China untuk mencari market baru di Asia Tenggara. Salah satu negara yang paling lemah proteksinya di Asia Tenggara adalah Indonesia," katanya.
Akbar mengingatkan kondisi ini bisa menyebabkan banjir impor baja secara besar-besaran ke pasar domestik. Dengan skala produksi dan efisiensi biaya yang jauh berbeda, harga produk baja impor menjadi tidak sebanding dengan produk lokal, membuat industri dalam negeri kesulitan bersaing.
"Sehingga akan sangat masif banjirnya impor masuk ke Indonesia, dengan skala sangat masif, sangat besar, tentu HPP-nya ini di luar daripada kemampuan industri domestik untuk compete. Kurang lebih sekitar 16 persen harga yang ada di domestik," ungkapnya.
Meski Indonesia sudah memiliki instrumen perlindungan seperti bea masuk anti-dumping, Akbar menilai upaya ini belum cukup efektif. Selain karena besarnya selisih harga, proses administratif untuk menerapkan kebijakan tersebut dinilai terlalu lambat dan tidak responsif terhadap kondisi di lapangan.
"Karena mereka, kalau toh kita melakukan proteksi berupa biaya masuk anti-dumping, ternyata ini tidak cukup. Tidak cukup instrumen ini. Masih banyak instrumen-instrumen lain yang bisa kita lakukan," tegasnya.
Ia juga menyoroti birokrasi lintas kementerian dan lembaga yang memperlambat pemberlakuan kebijakan perlindungan. Proses pengajuan hingga implementasi bea masuk anti-dumping bisa memakan waktu hingga dua tahun, waktu yang dianggap terlalu lama bagi industri yang sedang berjuang bertahan.
"Yang mengatur biaya masuk anti-dumping ini tentu lintas KL, lintas kementerian dan lembaga. Pendaftaran administratifnya juga sampai pemberlakuan itu sangat lama. Satu setengah tahun sampai dua tahun, sampai diberlakukannya biaya masuk anti-dumping. Kalau rentang waktu sampai dua tahun, tentu pabriknya sudah mati, sudah tutup," jelasnya.
Oleh karena itu, Akbar mendorong adanya mekanisme percepatan melalui kebijakan sementara, yang bisa melindungi industri domestik sambil menunggu proses administrasi rampung.
"Nah ini yang kita perlu percepatan kepada pemerintah untuk pay attention. Biaya masuk anti-dumping itu ada mekanisme temporary, ada mekanisme sementara. Sehingga paling tidak enam bulan sambil itu berproses, sambil melakukan percepatan administratif, ini sudah terproteksi industri dalam negeri kita daripada serbuan baja dari China tadi maupun dari negara lain," ujarnya.
(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Dampak Tarif AS, Produsen Baja Nasional Ubah Strategi Produksi
