
Mahasiswa RI Terbakar Kena Radiasi Tinggi Nuklir, Nyaris Lihat Maut

Jakarta, Srealm Indonesia - Kasus cemaran radioaktif Cs-137 di Kawasan Industri Modern Cikande, Banten, berdampak kepada manusia. Dalam konferensi pers Selasa (30/9/2025), Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan mengungkap ada sembilan orang yang terpapar radiasi.
"Telah dilakukan pemeriksaan terhadap 1.562 pekerja dan masyarakat. Tidak menimbulkan dampak serius. Hanya ada 9 orang tadi (terpapar radiasi) dan itu sudah ditangani oleh Kementerian Kesehatan dan sudah khusus dibawakan obat dari Singapura," ujarnya.
Kasus paparan radioaktif terhadap manusia sebenarnya bukan hal baru dialami warga Indonesia. Dalam sejarah, pernah ada warga yang terpapar radiasi nuklir jauh lebih dahsyat, yakni saat bom atom dijatuhkan di Hiroshima pada 6 Agustus 1945. Mereka adalah tiga mahasiswa Indonesia yang tengah menempuh pendidikan di Jepang, yakni Syarif Adil Sagala, Arifin Bey, dan Hassan Rahaya.
Ketiganya belajar di Universitas Waseda, Tokyo, melalui program beasiswa pemerintah Jepang bernama Nanpo Tokubetsu Ryogakusei (Nantoku). Sejarawan Aiko Kurasawa dalam Sisi Gelap Perang Asia (2023) menulis, beasiswa ini dibuat pemerintah Jepang sebagai upaya menarik simpati pemuda Indonesia agar belajar di Negeri Sakura dan kelak menerapkan ilmunya di Tanah Air.
Namun, nasib sial menimpa mereka ketika serangan bom atom oleh Amerika Serikat menghancurkan Hiroshima. Saat itu, ketiganya sedang berada di kelas masing-masing. Dalam memoarnya Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang, Sekitar Perang Pasifik 1942-1945 (1990), Sagala mengenang momen mengerikan itu berhasil mengalihkan semua orang yang ada di kelas.
"Tiba-tiba terdengar suara aneh dan.... sraatt, sinar berkilau, dengan dahsyat dan mengejutkan!," ungkap Sagala.
Setelah situasi kondusif, ledakan bom tersebut ternyata menewaskan sekitar 120 ribu orang seketika. Beberapa orang yang selamat, termasuk ketiga mahasiswa Indonesia itu kemudian dievakuasi ke Tokyo dengan luka luar yang sangat parah. Di ibukota Jepang itu, luka-luka mereka diobati, tetapi kondisi kesehatannya kian menurun.
Sebab hasil pemeriksaan menunjukkan tubuh mereka terpapar radiasi dalam jumlah tinggi. Jumlah sel darah putih mereka turun drastis. Dalam kondisi normal, manusia memiliki 4.000-11.000 sel darah putih per mikroliter darah, sementara jumlah mereka tak sampai 4.000. Situasi itu membuat Sagala dan Arifin kritis dan sekarat. Sagala bahkan disebut "tipis kemungkinan untuk hidup".
Para dokter pun menyerah. Mereka meminta para penyintas menandatangani surat pernyataan agar tidak menuntut jika terjadi sesuatu.
"Pernyataan itu ditandatangani dan pasrah," kenang Arifin Bey dalam artikel Bom Atom di Atas Hiroshima (1989).
Untungnya, keajaiban datang. Setelah melewati masa kritis selama seminggu, ketiganya berhasil bertahan hidup. Selama lima tahun berikutnya, mereka terus dipantau oleh tim medis Jepang hingga akhirnya diizinkan pulang ke Indonesia.
Ketika di Indonesia, ketiganya melakukan aktivitas masing-masing. Sagala dan Hassan Rahaya membangun bisnis. Sedangkan, Arifin Bey menjadi diplomat.
(mfa/mfa)
