Srealm Insight

Warga RI Korupsi Uang Rp1,3 T & Kabur ke China, Kini Dikejar Interpol

MFakhriansyah, Srealm Indonesia
Sabtu, 04/10/2025 12:00 WIB
Foto: Ilustrasi Korupsi. (Dok. Freepik)
Naskah ini merupakan bagian dari Srealm Insight, rubrik yang menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu.

Jakarta, Srealm Indonesia - Sejumlah warga Indonesia pernah masuk daftar red notice Interpol. Sebagian berhasil ditangkap, tapi satu nama masih jadi misteri hingga kini, yakni Eddy Tansil. Koruptor Rp1,3 triliun ini divonis 20 tahun penjara, tetapi baru 1,5 tahun di Lapas Cipinang dia berhasil kabur dan lenyap tanpa jejak.

Eddy Tansil adalah pengusaha Indonesia yang berbisnis sejak 1970-an. Dia memulai dari usaha kecil, seperti jual-beli becak dan perakitan sepeda motor, hingga kemudian merambah bisnis minuman beralkohol. Namanya makin melambung pada awal 1990-an setelah mendirikan perusahaan petrokimia, PT Golden Key Group.

Untuk membiayai ekspansi bisnisnya, Eddy mengajukan pinjaman ke negara melalui Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo). Kredit tersebut cair hingga Rp1,3 triliun dan salah satu yang terbesar pada masa itu. 


Namun, usai pencairan timbul kecurigaan. Akhirnya, menurut pemberitaan koran Berita Yudha (18 Februari 1994), Kejaksaan Agung menahan Eddy bersama wakil kepala Bapindo cabang Jakarta berinisial SP pada 17 Februari 1994. Keduanya dijerat dengan UU No. 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi.

"Pengusaha ET yang dikenal sebagai 'raja bir' dan 'raja bajaj' itu secara resmi ditahan Kejaksaan Agung hari Kamis, setelah semalam sebelumnya diperiksa tim jaksa secara maraton dari pukul 18.15 WIB sampai pukul 24.30 WIB," tulis Berita Yudha.

Dalam penyidikan terungkap, kredit itu cair berkat surat referensi dari Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Sudomo. Surat tersebut diserahkan kepada petinggi Bapindo agar pinjaman segera dicairkan.

"Setelah melihat dengan mata sendiri Eddy Tansil akrab dengan Sudomo, dia semakin percaya diri terhadap Eddy Tansil, sehingga apapun yang diminta dalam keperluan proyeknya selalu dikabulkan," ungkap saksi kepada Kejaksaan Agung, dikutip dari Berita Yudha (26 Agustus 1994).

Sudomo tak membantah kedekatannya dengan Eddy. Dia menegaskan surat referensi bukanlah "surat sakti" karena keputusan pencairan kredit tetap berada di tangan pejabat bank.

"Saya siap diperiksa. Referensi yang saya buat itu tidak otomatis mengakibatkan pencairan kredit itu," jelasnya, dikutip dari Berita Yudha (17 Agustus 1994).

Pada 15 Agustus 1994, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 17 tahun penjara dan denda pengganti Rp500 miliar kepada Eddy Tansil. Putusan ini kemudian diperberat di tingkat Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung menjadi 20 tahun penjara.

Hakim menegaskan Eddy terbukti menyalahgunakan kredit Rp1,3 triliun untuk kepentingan pribadi. Mulai dari membeli rumah, tanah, kendaraan, hingga menaruh dana di bank, bukan untuk mengembangkan usaha.

Kabur dari Penjara

Usai divonis, Eddy mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta. Namun, baru sekitar 1,5 tahun kemudian publik dikejutkan kabar dia raib. Pada 6 Mei 1996, komandan jaga tak menemukan Eddy di dalam sel. Belakangan diketahui, dia sudah kabur sejak 4 Mei 1996.

Menurut laporan Berita Yudha (19 Desember 1996), hari itu Eddy dijadwalkan berobat ke RS Harapan Kita, agenda rutin yang sudah mendapat izin Kepala LP. Namun, di kesempatan inilah ia melarikan diri dengan bantuan sipir.

"Eddy Tansil kabur setelah menyogok para sipir dengan alasan berobat," tulis Berita Yudha (23 Desember 1996).

Menteri Kehakiman Oetojo Oesman kepada Kompas (8 Mei 1996) juga menyebut tanda-tanda kaburnya Eddy sudah terlihat. Diaa sempat mengubah penampilan dengan mengeriting rambut serta memelihara jambang, diduga untuk menyamarkan identitasnya.

Kasus ini membuat Kepala LP Cipinang langsung dicopot. Pemerintah pun mengerahkan segala cara, yakni meminta bantuan 179 negara, bekerja sama dengan Interpol, bahkan menyewa detektif swasta.

"Hasil pelacakan detektif swasta yang disewa pemerintah menyebutkan buronan tersebut memiliki kekayaan di RRC, Hong Kong, dan Singapura," ungkap Jaksa Agung Muda Yunan Sawidji, dikutip Bali Post (14 Mei 1996).

Eddy memang sempat terdeteksi berada di luar negeri, terutama Singapura dan China, tetapi tak pernah benar-benar tertangkap. Sejak saat itu, batang hidung Eddy tak pernah terlihat lagi. Mengutip Detik.com, Kejaksaan Agung sempat mendeteksi keberadaannya di China pada 2011, tetapi hasilnya kembali buntu.

Kini, hampir tiga dekade sejak pelariannya, Eddy Tansil masih berstatus buronan Interpol. Keberadaan, bahkan status hidup atau matinya, tetap menjadi misteri besar dalam sejarah korupsi Indonesia.


(mfa/luc)